A. PENDAHULUAN
Subcekungan Palembang Selatan merupakan bagian dari cekungan Sumatra Selatan (
South Sumatra Basin).
Secara tatanan geologinya, subcekungan Palembang Selatan ini berada di
bagian tenggara dari cekungan Sumatra Selatan, dimana subcekungan ini
merupakan bagian yang cukup produktif dalam menghasilkan hidrokarbon.
Selanjutnya, subcekungan Palembang Selatan ini terbentuk akibat dari
aktivitas atau pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang saling
berinteraksi, yaitu antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah
lempeng Eurasia pada Pra-Tersier hingga Tersier Awal. Berikut merupakan
peta cakupan lokasi dari subcekungan Palembang Selatan.
Gambar. Peta Lokasi Subcekungan Palembang Selatan yang Merupakan Bagian dari Cekungan Sumatra Selatan
B. GEOLOGI REGIONAL SUBCEKUNGAN PALEMBANG SELATAN
B.1. FISIOGRAFI REGIONAL
Seperti
orientasi fisiografi Pulau Sumatra pada umumnya fisiografi subcekungan
Palembang Selatan juga memiliki kecenderungan orientasi berarah barat
laut-tenggara, dan diapit oleh dua pegunungan yaitu di sisi timur laut
terdapat Pegunungan Dua Belas dan di sisi barat dayanya terdapat
pegunungan Garba dimana orientasi kedua pegunungan ini juga sejajar
dengan orientasi fisiografi Pulau Sumatra pada umumnya. Kemudian, pola
kelurusan struktur tinggian dan rendahan yang cenderung berorientasi
barat laut – tenggara ini membentuk morfologi-morfologi seperti
Kuang High, Kepayang Graben, Musi Kikim Platform, Ogah Depression, Limau Graben, Iliran High, dan
Pendopo High. Luas
wilayah dari subcekungan Palembang Selatan sendiri diperkirakan
mencapai seperempat dari luas wilayah yang tercakup oleh cekungan
Sumatra Selatan. Berikut ini merupakan gambarab umum dari fisiografi
secara umum dari subcekungan Palembang Selatan.
Gambar. Peta Fisiografi dan Unsur-Unsur Tektonik Subcekungan Palembang Selatan
B.2. STRATIGRAFI REGIONAL
Secara
umum litologi yang ada pada subcekungan palembang selatan terbagi
menjadi 2 kelompok besar, yaitu: Batuan sedimen pengisi cekungan yang
berumur Tersier dan Batuan kristalin yang menjadi
basement rocks yang berumur Pra-Tersier.
Batuan
Kristalin Pra-Tersier pada subcekungan Palembang selatan terdiri dari
batuan metamorf dengan protolith berupa batuan sedimen seperti
slate,
kuarsit dan filit. Selain itu juga terdiri dari batuan beku berupa
Granodiorit dan Diorit. Selanjutnya Batuan sedimen berumur Tersier
diendapkan diatasnya yang dimulai dengan siklus sedimentasi tipe
transgresif yang kemudian diikuti dengan siklus sedimentasi regresif.
Batuan tersier tersebut kemudian dibagi lagi menjadi beberapa formasi,
dengan urutan dari yang tertua hingga yang termuda adalah sebagai
berikut.
a.
Formasi lahat
Formasi lahat terdiri
dari sedimen klastik yang mengandung material vulkanik, terdiri dari
tuf, aglomerat, lempung, batupasir tufan dan breksi. Semakin ke arah
tengah dari cekungan, litologinya berubah menjadi batuan yang berbutir
halus, menghasilkan batulempung dan serpih dengan sisipan batupasir
tufan. Ketebalan dari Formasi lahat tercatat setebal 760 m di daerah
Pendopo dan 200 meter di daerah Limau. Lingkungan pengendapan Formasi
lahat adalah lingkungan darat.
b.
Formasi talangakar
Formasi
talangakar terbagi menjadi 2 yaitu anggota Grindsand (GRM) dan Anggota
Transisi (TRM). Anggota Grindsand merupakan bagian bawah dari Formasi
talangakar yang terbentuk dari sedimentasi Transgresif yang terendapkan
pada kala Oligosen akhir hingga Miosen awal, dimana pada kala tersebut
cekungan Palembang selatan mengalami
subsidence. Litologinya
terdiri dari batupasir kasar hingga sangat kasar dengan shale dan
batulanau sebagai sisipannya. Litologi tersebut diendapkan pada
lingkungan fluvial hingga lingkungan delta. Ketebalan Anggota Grindsand
diperkirakan mencapai 550 m.
Di bagian atas dari Formasi talangakar disebut dengan anggota transisi (TRM), dimana litologinya terdiri dari
shale yang bersisipan dengan batupasir dan batubara, kemudian kadang - kadang berubah menjadi
marine shale
yang bersisipan dengan batupasir karbonatan. Ketebalan dari anggota
diperkirakan mencapai 300 m. Lingkungan pengendapan dari anggota ini
memiliki rentang mulai dari litoral hingga ke lingkungan laut dangkal.
c.
Formasi baturaja
Pengendapan
Formasi baturaja di atas Formasi talangakar terjadi setelah kondisi
laut pada saat itu semakin terbuka hingga menjadi open sea. Formasi
baturaja yang sebagian besar terdiri dari litologi batugamping mulai
diendapkan pada kondisi tersebut. Ketebalan dari Formasi baturaja adalah
berkisar antara 60 hingga 100 m di daerah Limau, sekitar 200 di daerah
pendopo, dan sekitar 150 m di daerah Kuang. Lingkungan pengendapan
Formasi baturaja adalah lingkungan Laut dangkal.
d.
Formasi gumai
Bagian
bawah dari Formasi gumai tersusun atas litologi serpih gampingan,
batugamping, napal dan sisipan batupasir karbonatan. Di bagian atas dari
formasi ini terdiri dari sedimen klastika halus seperti serpih, napal,
batulempung gampingan serta sisipan batupasir. Formasi gumai mewakili
adanya fase transgresi maksimum yang terjadi selama Miosen tengah awal,
dimana menyebabkan formasi ini terdistribusi cukup luas. Penentuan
estimasi top Formasi gumai ditentukan dengan perubahan litologi dan
lingkungan pengendapan dalam kondisi transgresi dengan dominasi serpih
yang bersifat gampingan dengan sisipan batulanau dan batupasir.
Ketebalan Formasi gumai di daerah limau berkisar antara 150 m hingga 500
m, dan 1500 m di daerah Muaraenim dan Lematang. Formasi ini diendapkan
di lingkungan laut dangkal hingga laut dalam.
e.
Formasi airbenakat
Formasi
airbenakat terdiri dari perulangan batupasir dan batulempung yang
disisipi oleh batulanau, dan ditandai pula dengan melimpahnya mineral
glaukonit dan limonit serta kandungan fosil foraminifera besar. Formasi
ini menjadi penanda terjadinya proses regresi selama akhir dari Miosen
Tengah yang merubah basin menjadi mendangkal dan lingkungan menjadi
neritik hingga litoral, sehingga saat Influks sedimen meningkat pada
saat itulah formasi ini terbentuk. Ketebalan Formasi ini diperkirakan
mencapai 600 m di daerah Limau. Formasi ini diendapkan secara selaras di
atas Formasi gumai.
f.
Formasi muaraenim
Formasi
muaraenim tersusun oleh Perselingan batulempung kehijauan, batupasir,
lapisan batubara dan endapan volkanik di bagian atas. . Di bagian bawah
dari formasi ini tersusun atas litologi batulepung, batupasir lempungan
dan batupasir tufan serta lapisan batubara pula. Fosil Kayu dan
foraminifera air tawar juga banyak ditemukan pada formasi ini. Formasi
ini menunjukkan sekuen pengendapan mengkasar ke atas dengan lingkungan
pengendapan laut dangkal hingga lingkungan darat (litoral – terestrial).
Ketebalan formasi ini mencapai 200 m hingga 800 m. Umur dari formasi
ini adalah Miosen Akhir hingga Pliosen Awal.
g.
Formasi kasai
Di
atas Formasi muaraenim kemudian diendapkan secara selaras Formasi
kasai. Formasi kasai terdiri dari litologi perulangan tuf, batupasir
tufan, dan batulempung tufan dengan kandungan moluska air tawar dan
silicified wood. Kandungan vulkanik pada formasi ini menandakan adanya
aktivitas orogenik yang semakin meningkat pada kala Pliosen Akhir.
Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah lingkungan darat.
Aktivitas orogenik yang terjadi menyebabkan terjadinya proses
pengangkatan pada basin, perlipatan dan pensesaran hingga membentuk
konfigurasi seperti sekarang.
Gambar. Stratigrafi regional Sub-Cekungan Palembang Selatan
B.3. TATANAN TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL
Secara umum Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi 5 zona seting tektonik, antara lain yaitu
1.
Busur Luar Sunda, yang merupakan busur non-vulkanik dimana cakupan wilayahnya adalah garis pantai barat dari Pulau Sumatra.
2.
Cekungan Depan Busur (Front Arc Basin), cakupan wilayahnya terletak diantara zona Basur Luar Sunda dan Jalur Pegunungan Barisan..
3.
Jalur Pegunungan Barisan, merupakan busur vulkanik
4.
Cekungan Belakang Busur (Back Arc Basin), cakupan wilayahnya memanjang di sepanjang kaki Pegunungan Barisan dimana wilayah ini merupakan hasil depresi batuan dasar (
basement rock)
5.
Cekungan Intermontane yang merupakan
intra-arc basin.
Dari
pembagian zona seting tektonik tersebut sebagian besar wilayah cekungan
Sumatra Selatan termasuk ke dalam Cekungan Belakang Busur (
Back Arc Basin).
Selanjutnya,
secara garis besar Cekungan Sumatra Selatan sangat dipengaruhi oleh 2
fase tektonik, fase pertama terjadi saat Tersier Awal dan menghasilkan
suatu basement dengan blok sesar yang berorientasi timur laut-barat daya
(
NE-SW). Kemudian fase tektonik kedua terjadi selama
Plio-Pleistosen yang merupakan proses orogenik yang menghasilkan
pegunungan-pegunungan di sepanjang Cekungan Sumatra Selatan atau secara
lebih luasnya pegunungan-pegunungan di Pulau Sumatra, serta menghasilkan
struktur sesar geser (
strike slip fault).
Kemudian,
struktur-struktur geologi yang berkembang pada zona subcekungan ini
memilki kecenderungan seperti kenampakan struktur geologi di Cekungan
Sumatera Selatan pada umumnya, yaitu terbentuk oleh gaya-gaya tektonik
yang telah dijelaskan sebelumnya dimana kombinasi dua fase tektonik
utama yaitu fase Tersier Awal dan fase Plio-Pleistosen. Kemudian,
subcekungan Palembang Selatan yang merupakan bagian dari Cekungan
Sumatera Selatan ini terletak pada jalur Sesar Lematang yang membentuk
Antiklinorium yang memanjang dari Pendopo hingga Mambang-Sebasa.
Struktur dominan pada zona sub cekungan Palembang Selatan ini merupakan
blok naik terhadap sesar naik berarah baratlaut-tenggara, berarah sama
dengan sumbu antiklin yang terletak di sisi baratdaya struktur antiklin.
Struktur antiklin tersebut dipisahkan oleh adanya sesar-sesar normal
berarah timurlaut-baratdaya yang keterbentukannya merupakan hasil dari
tektonik fase pertama dan terjadi saat Tersier Awal dengan kemiringan
bidang utama sesar berarah baratlaut dan diikuti kemiringan antiklin
berarah tenggara. Secara lebih rinci pola Lematang yang yang memiliki
struktur geologi relatif N300°E berhubungan dengan pembentukan Graben
Pleogen yang kenampakannya dapat diamati pada Sesar Lematang, Sesar
Musi, Sesar Kepayang, Sesar Saka, dan Sesar Lampung Selatan.
Gambar. Struktur Geologi Regional Subcekungan Palembang Selatan (Barber, 2005)
C. PETROLEUM SYSTEM
C.1. SOURCE ROCK
Penentuan dalam identifikasi
source rock
pada sub-cekungan Palembang Selatan telah dilakukan oleh Sarjono dan
Sardjito (1989) dengan menggunakan data Geokimia sumur pemboran serta
analisis Lopatin. Analisis tersebut telah dilakukan pada setiap formasi
pada subcekungan Palembang Selatan butnuk mengevaluasi potensi
kehadiran source rock, maturity, dan pembentukan hidrokarrbon.
C.2. POTENSI KEHADIRAN SOURCE ROCK
Identifikasi potensi kehadiran
source rock dapat dilakukan berdasarkan nilai dari
TOC ( total organic carbon) serta data
Rock Eval Pirolysis pada
masing –masing formasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarjono
dan Sardjito (1989) dengan menghitung nilai dari kedua elemen tersebut
pada masing-masing formasi, didapatkan hasil sebagai berikut.
Formasi lahat memiliki potensi source rock yang sangat bagus (
excellent) dengan nilai
TOC 8,5% di daerah Kepayang. Di daerah Limau juga memiliki potensi
source rock dengan kriteria baik (good) dengan nilai
TOC
1,7% – 4,1%. Sayangnya Sarjono dan Sardjito (1989) tidak dapat membuat
peta potensi source rock yang lebih komprehensif pada Formasi lahat
dikarenakan kurangnya data.
Formasi talangakar memiliki potensi
source rock dengan kriteria baik (
good) khususnya di daerah Limau dengan nilai
TOC
1,5% – 8%, serta nilai S1 dan S2 adalah 0.5-2.1 mg/g and 1.5-8 mg/g .
sedangkan di daerah Kuang memiliki potensi dengan kriteria cukup (
fair) dengan nilai
TOC
0.33-0.9% serta nilai SI dan S2 adalah 0.1-0.5 mg/g dan 0.2-4 mg/g.
Untuk daerah Muaraenim-Lematang baru diprediksikan kehadiran source rock
memiliki potensi dengan kriteria cukup (fair).
Formasi baturaja
yang berada di daerah limau memiliki potensi source rock dengan kriteria
baik hingga sangat baik (good – very good) dengan nilai TOC 0,6 – 1,5%
dan nilai S1 dan S2 1.35 - 5.5 mg/g dan 1.35 - 2.7 mg/g. Daerah Kuang
memiliki potensi yang bururk (poor) karena hanya memiliki nilai TOC 0,2 –
0,4%.
Formasi gumai memiliki potensi kehadiran
source rock dengan kriteria berkisar antara cukup hingga unggul/sangat bagus (
fair – excellent) hampir di semua area keberadaan Formasi gumai di subcekungan Palembang Selatan dengan nilai
TOC 0,5-
11,5% dan nilai S1 dan S2 0.1 - 2.2 mg/g dan 0.7 - 2.4 mg/g. Di daerah
Muaraenim – Lematang diprediksikan memiliki potensi dengan kriteria
baik (
good) karena di daerah tersebut Formasi gumai memiliki
ketebalan mencapai 1500 m dan setelah sumur pemboran disana dengan kode
Merbau well (MBU-1) menunjukkan nilai
TOC-nya mencapai 0.7-1% dan nilai S1 dan S2 adalah 2.1-3.6 mg/g.
Formasi airbenakat memiliki potensi dengan kriteria cukup hingga baik (
fair to good) dengan nilai
TOC
0.5-1.7%, dan nilai S1 dan S2 adalah 0.2-2.88 mg/g dan 0.9-5.5 mg/g.
Sedangkan formasi yang paling atas adalah Formasi muaraenim yang
berdasakan dari data sumur
Merbau Well (MBU-1) didapatkan hasil berupa potensi
source rock disana memiliki kriteria cukup hingga sangat bagus (
fair – excellent) dengan nilai TOC 0,5% hinggq 52, 7%.
C3. MATURITY
Maturity adalah tingkat kematangan suatu
Source rock sehingga dapat membentuk hidrokarbon. Kematangan dari suatu
source rock dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu temperatur dan waktu. Untuk membentuk suatu kematangan
source rock,
suhu yang tinggi dan waktu yang singkat dianggap memiliki pengaruh yang
sama dengan suhu yang rendah dan dalam waktu yang lebih lama. Ini
artinya durasi kematangan source rock tidak harus lama dan dipanaskan
pada kondisi temperatur tertentu.
Identifikasi kematangan suatu
source rock dilakukan berdasarkan parameter–parameter berikut, yaitu Suhu Maksimum (
T-max),
Spore Colouration Index (SCI),
Thermal Alteration Index (TAI),
Vitrinite Reflectance (Ro) dan Analisis Lopatin.
Berdasarkan
data dari analisis sumur pemboran, tingkat kematangan pada tiap-tiap
formasi pada sub-basin Palembang Selatan dapat ditentukan sebagai
berikut.
Formasi lahat, khususnya yang berada di daerah Limau,
Beringin dan Muaraenim-Lematang memiliki nilai Temperatur maksimum
berkisar antara 436°C-441°C. Ini artinya Formasi lahat di daerah
tersebut dapat dikategorikan sebagai mature. Namun Di area Kepayang
masih dikategorikan sebagai
immature.
Formasi talangakar
untuk area Limau dikategorikan sebagai mature, sedangkan daerah Kuang
dan Muaraenim-Lematang dianggap baru sebagian yang mature, dimana
memiliki Temperatur maksimum 436°C - 450°C dan nilai Ro 0.45-0.94%.
daerah Lembak dan Kuang merupakan daerah yang lebih dahulu mature dengan
temperatur maksimum 425°C – 433°C dan nilai Ro-nya adalah 0.3% - 0.4%.
Sama halnya dengan Formasi talangakar, Formasi baturaja memiliki tingkat
kematangan
source rock yang kurang lebih sama, sehingga kedua formasi
tersebut oleh Sarjono dan Sardjito (1989) digambarkan pada satu peta
maturity yang sama.
Formasi
gumai dikategorikan sebagai early mature untuk di daerah Limau, dan
kategori partly mature untuk area Kuang dengan suhu Maksimum antara
400°C – 430°C. Sedangkan untuk Area Muaraenim-Lematang masu dalam
kategori
mature dengan suhu maksimum 435°C hingga 440°C dengan nilai prosentase Ro adalah 0.51% - 0.7%.
Untuk Formasi airbenakat dan Formasi muaraenim masih dikategorikan sebagai
immature
karena memiliki suhu maksimum kurang dari 430°C dan nilai prosentase Ro
0.29% - 0.30%. sedangkan berdasarkan analisis Lopatin menunjukkan bahwa
oil window (TTI:15) telah terjadi di area Merbau pada kedalaman 1200 m dan di area Gunungkemala pada kedalaman 1500 m.
C.4. OIL VS GAS GENERATION
Kerogen yang terbentuk di Formasi talangakar memiliki tipe
amorphous dan
vitrinit
yang memungkinkan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Sementara
pada Formasi muaraenim dan Formasi gumai sebagian besar kerogennya
bertipe vitrinit sehingga kecenderungannya menghasilkan gas. Sedangkan
Formasi baturaja memiliki kerogen baik tipe amorphous maupun vitrinit
sehingga seperti Formasi talangakar, formasi ini juga mamungkinkan untuk
menghasilkan minyak dan gas. Kemudian pada Formasi airbenakat terdapat
kandungan kerogen tipe
amorphous maupun vitrinit namun belum
mature, sehingga belum mamungkinkan untuk menghasilkan hidrokarbon.