Tuesday, June 2, 2015

GEOLOGI DAERAH PALEMBANG SELATAN, SUB-CEKUNGAN SUMATRA SELATAN

A. PENDAHULUAN
Subcekungan Palembang Selatan merupakan bagian dari cekungan Sumatra Selatan (South Sumatra Basin). Secara tatanan geologinya, subcekungan Palembang Selatan ini berada di bagian tenggara dari cekungan Sumatra Selatan, dimana subcekungan ini merupakan bagian yang cukup produktif dalam menghasilkan hidrokarbon. Selanjutnya, subcekungan Palembang Selatan ini terbentuk akibat dari aktivitas atau pergerakan lempeng-lempeng tektonik yang saling berinteraksi, yaitu antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia pada Pra-Tersier hingga Tersier Awal. Berikut merupakan peta cakupan lokasi dari subcekungan Palembang Selatan.
Gambar. Peta Lokasi Subcekungan Palembang Selatan yang Merupakan Bagian dari Cekungan Sumatra Selatan

B. GEOLOGI REGIONAL SUBCEKUNGAN PALEMBANG SELATAN

B.1. FISIOGRAFI REGIONAL
Seperti orientasi fisiografi Pulau Sumatra pada umumnya fisiografi subcekungan Palembang Selatan juga memiliki kecenderungan orientasi berarah barat laut-tenggara, dan diapit oleh dua pegunungan yaitu di sisi timur laut terdapat Pegunungan Dua Belas dan di sisi barat dayanya terdapat pegunungan Garba dimana orientasi kedua pegunungan ini juga sejajar dengan orientasi fisiografi Pulau Sumatra pada umumnya. Kemudian, pola kelurusan struktur tinggian dan rendahan yang cenderung berorientasi barat laut – tenggara ini membentuk morfologi-morfologi seperti Kuang High, Kepayang Graben, Musi Kikim Platform, Ogah Depression, Limau Graben, Iliran High, dan Pendopo High. Luas wilayah dari subcekungan Palembang Selatan sendiri diperkirakan mencapai seperempat dari luas wilayah yang tercakup oleh cekungan Sumatra Selatan. Berikut ini merupakan gambarab umum dari fisiografi secara umum dari subcekungan Palembang Selatan.
Gambar. Peta Fisiografi dan Unsur-Unsur Tektonik Subcekungan Palembang Selatan

B.2. STRATIGRAFI REGIONAL
Secara umum litologi yang ada pada subcekungan palembang selatan terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: Batuan sedimen pengisi cekungan yang berumur Tersier dan Batuan kristalin yang menjadi basement rocks yang berumur Pra-Tersier.
Batuan Kristalin Pra-Tersier pada subcekungan Palembang selatan terdiri dari batuan metamorf dengan protolith berupa batuan sedimen seperti slate, kuarsit dan filit. Selain itu juga terdiri dari batuan beku berupa Granodiorit dan Diorit. Selanjutnya Batuan sedimen berumur Tersier diendapkan diatasnya yang dimulai dengan siklus sedimentasi tipe transgresif yang kemudian diikuti dengan siklus sedimentasi regresif. Batuan tersier tersebut kemudian dibagi lagi menjadi beberapa formasi, dengan urutan dari yang tertua hingga yang termuda adalah sebagai berikut.

a. Formasi lahat
Formasi lahat terdiri dari sedimen klastik yang mengandung material vulkanik, terdiri dari tuf, aglomerat, lempung, batupasir tufan dan breksi. Semakin ke arah tengah dari cekungan, litologinya berubah menjadi batuan yang berbutir halus, menghasilkan batulempung dan serpih dengan sisipan batupasir tufan. Ketebalan dari Formasi lahat tercatat setebal 760 m di daerah Pendopo dan 200 meter di daerah Limau. Lingkungan pengendapan Formasi lahat adalah lingkungan darat.

b. Formasi talangakar
Formasi talangakar terbagi menjadi 2 yaitu anggota Grindsand (GRM) dan Anggota Transisi (TRM). Anggota Grindsand merupakan bagian bawah dari Formasi talangakar yang terbentuk dari sedimentasi Transgresif yang terendapkan pada kala Oligosen akhir hingga Miosen awal, dimana pada kala tersebut cekungan Palembang selatan mengalami subsidence. Litologinya terdiri dari batupasir kasar hingga sangat kasar dengan shale dan batulanau sebagai sisipannya. Litologi tersebut diendapkan pada lingkungan fluvial hingga lingkungan delta. Ketebalan Anggota Grindsand diperkirakan mencapai 550 m.
Di bagian atas dari Formasi talangakar disebut dengan anggota transisi (TRM), dimana litologinya terdiri dari shale yang bersisipan dengan batupasir dan batubara, kemudian kadang - kadang berubah menjadi marine shale yang bersisipan dengan batupasir karbonatan. Ketebalan dari anggota diperkirakan mencapai 300 m. Lingkungan pengendapan dari anggota ini memiliki rentang mulai dari litoral hingga ke lingkungan laut dangkal.

c. Formasi baturaja
Pengendapan Formasi baturaja di atas Formasi talangakar terjadi setelah kondisi laut pada saat itu semakin terbuka hingga menjadi open sea. Formasi baturaja yang sebagian besar terdiri dari litologi batugamping mulai diendapkan pada kondisi tersebut. Ketebalan dari Formasi baturaja adalah berkisar antara 60 hingga 100 m di daerah Limau, sekitar 200 di daerah pendopo, dan sekitar 150 m di daerah Kuang. Lingkungan pengendapan Formasi baturaja adalah lingkungan Laut dangkal.

d. Formasi gumai
Bagian bawah dari Formasi gumai tersusun atas litologi serpih gampingan, batugamping, napal dan sisipan batupasir karbonatan. Di bagian atas dari formasi ini terdiri dari sedimen klastika halus seperti serpih, napal, batulempung gampingan serta sisipan batupasir. Formasi gumai mewakili adanya fase transgresi maksimum yang terjadi selama Miosen tengah awal, dimana menyebabkan formasi ini terdistribusi cukup luas. Penentuan estimasi top Formasi gumai ditentukan dengan perubahan litologi dan lingkungan pengendapan dalam kondisi transgresi dengan dominasi serpih yang bersifat gampingan dengan sisipan batulanau dan batupasir. Ketebalan Formasi gumai di daerah limau berkisar antara 150 m hingga 500 m, dan 1500 m di daerah Muaraenim dan Lematang. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal hingga laut dalam.

e. Formasi airbenakat
Formasi airbenakat terdiri dari perulangan batupasir dan batulempung yang disisipi oleh batulanau, dan ditandai pula dengan melimpahnya mineral glaukonit dan limonit serta kandungan fosil foraminifera besar. Formasi ini menjadi penanda terjadinya proses regresi selama akhir dari Miosen Tengah yang merubah basin menjadi mendangkal dan lingkungan menjadi neritik hingga litoral, sehingga saat Influks sedimen meningkat pada saat itulah formasi ini terbentuk. Ketebalan Formasi ini diperkirakan mencapai 600 m di daerah Limau. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi gumai.

f. Formasi muaraenim
Formasi muaraenim tersusun oleh Perselingan batulempung kehijauan, batupasir, lapisan batubara dan endapan volkanik di bagian atas. . Di bagian bawah dari formasi ini tersusun atas litologi batulepung, batupasir lempungan dan batupasir tufan serta lapisan batubara pula. Fosil Kayu dan foraminifera air tawar juga banyak ditemukan pada formasi ini. Formasi ini menunjukkan sekuen pengendapan mengkasar ke atas dengan lingkungan pengendapan laut dangkal hingga lingkungan darat (litoral – terestrial). Ketebalan formasi ini mencapai 200 m hingga 800 m. Umur dari formasi ini adalah Miosen Akhir hingga Pliosen Awal.

g. Formasi kasai
Di atas Formasi muaraenim kemudian diendapkan secara selaras Formasi kasai. Formasi kasai terdiri dari litologi perulangan tuf, batupasir tufan, dan batulempung tufan dengan kandungan moluska air tawar dan silicified wood. Kandungan vulkanik pada formasi ini menandakan adanya aktivitas orogenik yang semakin meningkat pada kala Pliosen Akhir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini adalah lingkungan darat. Aktivitas orogenik yang terjadi menyebabkan terjadinya proses pengangkatan pada basin, perlipatan dan pensesaran hingga membentuk konfigurasi seperti sekarang.

Gambar. Stratigrafi regional Sub-Cekungan Palembang Selatan

B.3. TATANAN TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL
Secara umum Pulau Sumatra dapat dibagi menjadi 5 zona seting tektonik, antara lain yaitu
1. Busur Luar Sunda, yang merupakan busur non-vulkanik dimana cakupan wilayahnya adalah garis pantai barat dari Pulau Sumatra.
2. Cekungan Depan Busur (Front Arc Basin), cakupan wilayahnya terletak diantara zona Basur Luar Sunda dan Jalur Pegunungan Barisan..
3. Jalur Pegunungan Barisan, merupakan busur vulkanik
4. Cekungan Belakang Busur (Back Arc Basin), cakupan wilayahnya memanjang di sepanjang kaki Pegunungan Barisan dimana wilayah ini merupakan hasil depresi batuan dasar (basement rock)
5. Cekungan Intermontane yang merupakan intra-arc basin.

Dari pembagian zona seting tektonik tersebut sebagian besar wilayah cekungan Sumatra Selatan termasuk ke dalam Cekungan Belakang Busur (Back Arc Basin).
Selanjutnya, secara garis besar Cekungan Sumatra Selatan sangat dipengaruhi oleh 2 fase tektonik, fase pertama terjadi saat Tersier Awal dan menghasilkan suatu basement dengan blok sesar yang berorientasi timur laut-barat daya (NE-SW). Kemudian fase tektonik kedua terjadi selama Plio-Pleistosen yang merupakan proses orogenik yang menghasilkan pegunungan-pegunungan di sepanjang Cekungan Sumatra Selatan atau secara lebih luasnya pegunungan-pegunungan di Pulau Sumatra, serta menghasilkan struktur sesar geser (strike slip fault).
Kemudian, struktur-struktur geologi yang berkembang pada zona subcekungan ini memilki kecenderungan seperti kenampakan struktur geologi di Cekungan Sumatera Selatan pada umumnya, yaitu terbentuk oleh gaya-gaya tektonik yang telah dijelaskan sebelumnya dimana kombinasi dua fase tektonik utama yaitu fase Tersier Awal dan fase Plio-Pleistosen. Kemudian, subcekungan Palembang Selatan yang merupakan bagian dari Cekungan Sumatera Selatan ini terletak pada jalur Sesar Lematang yang membentuk Antiklinorium yang memanjang dari Pendopo hingga Mambang-Sebasa. Struktur dominan pada zona sub cekungan Palembang Selatan ini merupakan blok naik terhadap sesar naik berarah baratlaut-tenggara, berarah sama dengan sumbu antiklin yang terletak di sisi baratdaya struktur antiklin. Struktur antiklin tersebut dipisahkan oleh adanya sesar-sesar normal berarah timurlaut-baratdaya yang keterbentukannya merupakan hasil dari tektonik fase pertama dan terjadi saat Tersier Awal dengan kemiringan bidang utama sesar berarah baratlaut dan diikuti kemiringan antiklin berarah tenggara. Secara lebih rinci pola Lematang yang yang memiliki struktur geologi relatif N300°E berhubungan dengan pembentukan Graben Pleogen yang kenampakannya dapat diamati pada Sesar Lematang, Sesar Musi, Sesar Kepayang, Sesar Saka, dan Sesar Lampung Selatan.

Gambar. Struktur Geologi Regional Subcekungan Palembang Selatan (Barber, 2005)

C. PETROLEUM SYSTEM

C.1. SOURCE ROCK
Penentuan dalam identifikasi source rock pada sub-cekungan Palembang Selatan telah dilakukan oleh Sarjono dan Sardjito (1989) dengan menggunakan data Geokimia sumur pemboran serta analisis Lopatin. Analisis tersebut telah dilakukan pada setiap formasi pada subcekungan Palembang Selatan butnuk mengevaluasi potensi kehadiran source rock, maturity, dan pembentukan hidrokarrbon.

C.2. POTENSI KEHADIRAN SOURCE ROCK
Identifikasi potensi kehadiran source rock dapat dilakukan berdasarkan nilai dari TOC ( total organic carbon) serta data Rock Eval Pirolysis pada masing –masing formasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarjono dan Sardjito (1989) dengan menghitung nilai dari kedua elemen tersebut pada masing-masing formasi, didapatkan hasil sebagai berikut.
Formasi lahat memiliki potensi source rock yang sangat bagus (excellent) dengan nilai TOC 8,5% di daerah Kepayang. Di daerah Limau juga memiliki potensi source rock dengan kriteria baik (good) dengan nilai TOC 1,7% – 4,1%. Sayangnya Sarjono dan Sardjito (1989) tidak dapat membuat peta potensi source rock yang lebih komprehensif pada Formasi lahat dikarenakan kurangnya data.
Formasi talangakar memiliki potensi source rock dengan kriteria baik (good) khususnya di daerah Limau dengan nilai TOC 1,5% – 8%, serta nilai S1 dan S2 adalah 0.5-2.1 mg/g and 1.5-8 mg/g . sedangkan di daerah Kuang memiliki potensi dengan kriteria cukup (fair) dengan nilai TOC 0.33-0.9% serta nilai SI dan S2 adalah 0.1-0.5 mg/g dan 0.2-4 mg/g. Untuk daerah Muaraenim-Lematang baru diprediksikan kehadiran source rock memiliki potensi dengan kriteria cukup (fair).
Formasi baturaja yang berada di daerah limau memiliki potensi source rock dengan kriteria baik hingga sangat baik (good – very good) dengan nilai TOC 0,6 – 1,5% dan nilai S1 dan S2 1.35 - 5.5 mg/g dan 1.35 - 2.7 mg/g. Daerah Kuang memiliki potensi yang bururk (poor) karena hanya memiliki nilai TOC 0,2 – 0,4%.
Formasi gumai memiliki potensi kehadiran source rock dengan kriteria berkisar antara cukup hingga unggul/sangat bagus (fair – excellent) hampir di semua area keberadaan Formasi gumai di subcekungan Palembang Selatan dengan nilai TOC 0,5- 11,5% dan nilai S1 dan S2 0.1 - 2.2 mg/g dan 0.7 - 2.4 mg/g. Di daerah Muaraenim – Lematang diprediksikan memiliki potensi dengan kriteria baik (good) karena di daerah tersebut Formasi gumai memiliki ketebalan mencapai 1500 m dan setelah sumur pemboran disana dengan kode Merbau well (MBU-1) menunjukkan nilai TOC-nya mencapai 0.7-1% dan nilai S1 dan S2 adalah 2.1-3.6 mg/g.
Formasi airbenakat memiliki potensi dengan kriteria cukup hingga baik (fair to good) dengan nilai TOC 0.5-1.7%, dan nilai S1 dan S2 adalah 0.2-2.88 mg/g dan 0.9-5.5 mg/g. Sedangkan formasi yang paling atas adalah Formasi muaraenim yang berdasakan dari data sumur Merbau Well (MBU-1) didapatkan hasil berupa potensi source rock disana memiliki kriteria cukup hingga sangat bagus (fair – excellent) dengan nilai TOC 0,5% hinggq 52, 7%.

C3. MATURITY
Maturity adalah tingkat kematangan suatu Source rock sehingga dapat membentuk hidrokarbon. Kematangan dari suatu source rock dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu temperatur dan waktu. Untuk membentuk suatu kematangan source rock, suhu yang tinggi dan waktu yang singkat dianggap memiliki pengaruh yang sama dengan suhu yang rendah dan dalam waktu yang lebih lama. Ini artinya durasi kematangan source rock tidak harus lama dan dipanaskan pada kondisi temperatur tertentu.
Identifikasi kematangan suatu source rock dilakukan berdasarkan parameter–parameter berikut, yaitu Suhu Maksimum (T-max), Spore Colouration Index (SCI), Thermal Alteration Index (TAI), Vitrinite Reflectance (Ro) dan Analisis Lopatin.
Berdasarkan data dari analisis sumur pemboran, tingkat kematangan pada tiap-tiap formasi pada sub-basin Palembang Selatan dapat ditentukan sebagai berikut.
Formasi lahat, khususnya yang berada di daerah Limau, Beringin dan Muaraenim-Lematang memiliki nilai Temperatur maksimum berkisar antara 436°C-441°C. Ini artinya Formasi lahat di daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai mature. Namun Di area Kepayang masih dikategorikan sebagai immature.
Formasi talangakar untuk area Limau dikategorikan sebagai mature, sedangkan daerah Kuang dan Muaraenim-Lematang dianggap baru sebagian yang mature, dimana memiliki Temperatur maksimum 436°C - 450°C dan nilai Ro 0.45-0.94%. daerah Lembak dan Kuang merupakan daerah yang lebih dahulu mature dengan temperatur maksimum 425°C – 433°C dan nilai Ro-nya adalah 0.3% - 0.4%. Sama halnya dengan Formasi talangakar, Formasi baturaja memiliki tingkat kematangan source rock yang kurang lebih sama, sehingga kedua formasi tersebut oleh Sarjono dan Sardjito (1989) digambarkan pada satu peta maturity yang sama.
Formasi gumai dikategorikan sebagai early mature untuk di daerah Limau, dan kategori partly mature untuk area Kuang dengan suhu Maksimum antara 400°C – 430°C. Sedangkan untuk Area Muaraenim-Lematang masu dalam kategori mature dengan suhu maksimum 435°C hingga 440°C dengan nilai prosentase Ro adalah 0.51% - 0.7%.
Untuk Formasi airbenakat dan Formasi muaraenim masih dikategorikan sebagai immature karena memiliki suhu maksimum kurang dari 430°C dan nilai prosentase Ro 0.29% - 0.30%. sedangkan berdasarkan analisis Lopatin menunjukkan bahwa oil window (TTI:15) telah terjadi di area Merbau pada kedalaman 1200 m dan di area Gunungkemala pada kedalaman 1500 m.

C.4. OIL VS GAS GENERATION
Kerogen yang terbentuk di Formasi talangakar memiliki tipe amorphous dan vitrinit yang memungkinkan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi. Sementara pada Formasi muaraenim dan Formasi gumai sebagian besar kerogennya bertipe vitrinit sehingga kecenderungannya menghasilkan gas. Sedangkan Formasi baturaja memiliki kerogen baik tipe amorphous maupun vitrinit sehingga seperti Formasi talangakar, formasi ini juga mamungkinkan untuk menghasilkan minyak dan gas. Kemudian pada Formasi airbenakat terdapat kandungan kerogen tipe amorphous maupun vitrinit namun belum mature, sehingga belum mamungkinkan untuk menghasilkan hidrokarbon.  
C.5. MIGRASI HIDROKARBON
Migrasi hidrokarbon pada subcekungan Palembang Selatan baik secara lateral maupun vertikal berawal sejak Miosen Tengah. Migrasi vertikal hidrokarbon di zona subcekungan ini terjadi melalui zona sesar, seperti yang terjadi di daerah Lembak dimana hidrokarbon bermigrasi secara vertikal melalui Sesar Lembak dimana source rock dari hidrokarbon tersebut berasal dari Formasi talangakar yang berada di daerah Graben Limau. Sementara migrasi hidrokarbon secara lateral terjadi pada pori-pori atau porositas batuan dan juga bidang lapisan batuan. Contoh migrasi lateral ini dapat dijumpai di daerah Kuang dan Beringin dimana hidrokarbon yang berasal dari source rock di Formasi talangakar bermigrasi secara lateral pada Tanjungmiring deep sehingga dapat ditemukan adanya rembesan minyak pada daerah tersebut.







DAFTAR PUSTAKA
Pulunggono A., Agus Haryo S., dan Kosuma C.G., 1992, Pre-Tertiary and tertiary Fault Systems As a Framework of the South Sumatra basin; A Study of SAR-MAPS, Proceed. Indonesian Petroleum Association 21st Annual Conv. hal. 339-360.

Sarjono S. dan Sardjito, 1989, Hydrocarbon Source Rock Identification in the South Palembang Sub-Basin, Proceed. Indonesian Petroleum Association 18th Annual Conv. hal. 427-466.

Suseno, P.H., Zakaria, Mujahidin, Nizar, dan Subroto, E.A., 1992, Contribution of Lahat Formation as hydrocarbon source rock in South Palembang area, South Sumatra, Indonesia. Proceedings IPA 21st Ann. Convention, Oktober 1992 , hal. 325‐337.


Disusun Oleh
1. Mukhtarodin Widodo
2. Moch. As'ad Muzakky

1 comment:

  1. Terimakasih untuk tulisan diatas yang sangat membantu, saya cukup kesulitan untuk mengakses jurnal yang menjadi sumber artikel ini pak,sebagai bahan pelajaran mohon sudi kiranya dapat di kirim ke email saya Deri.rafsanjani02@gmail.com

    ReplyDelete